Warga Cirebon Kecam Dugaan Pencemaran Lingkungan oleh PT Indocement: Desak Penegakan Hukum dan Transparansi

Cirebon – centralpers – Gelombang protes bermunculan dari warga Kabupaten Cirebon terhadap dugaan pencemaran lingkungan yang diduga dilakukan oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Perusahaan semen nasional tersebut dituding telah mencemari lingkungan selama bertahun-tahun tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah maupun kontribusi yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Keluhan utama warga mencakup debu tebal yang menyelimuti permukiman, jalanan, dan lahan pertanian di sekitar area operasional perusahaan, serta air yang tercemar dan berbau menyengat yang mengalir ke sawah dan perkampungan. Kondisi ini dianggap tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat dan merugikan perekonomian lokal.

Jupri, seorang aktivis lingkungan yang pernah dikenal publik atas keberhasilannya menggugat Toyota Astra Finance (TAF), menyuarakan kekecewaannya atas dampak lingkungan yang ditimbulkan. Ia menyebut, pencemaran yang diduga berasal dari limbah batu bara dan sampah industri Indocement telah meluas hingga jutaan hektare.

“Air yang seharusnya mengalir ke sawah dan permukiman kini berubah menjadi keruh, berbau, dan tidak layak pakai. Ini bukan sekadar pelanggaran, ini adalah bentuk kejahatan lingkungan yang nyata,” ujar Jupri saat ditemui di lokasi, Selasa, 30 September 2025.

Jupri tidak sendiri. Ia didampingi oleh tokoh masyarakat dan pemerhati lingkungan lainnya seperti Agung Sulistio, Agus Chepy Kurniadi, dan Uyun Saeful Yunus, SE., MM. Ketiganya menyatakan komitmen penuh untuk mengawal kasus ini hingga tuntas, termasuk mendorong proses hukum dan evaluasi terhadap kontribusi perusahaan terhadap PAD Kabupaten Cirebon.

Pemimpin Redaksi Sahabat Bhayangkara Indonesia, Agung Sulistio, menegaskan bahwa media tidak hanya bertugas sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pengawas publik (watchdog) terhadap kepentingan rakyat dan lingkungan hidup.

“Ini bukan hanya soal pencemaran, tapi soal keadilan sosial dan keberpihakan terhadap masyarakat yang menjadi korban industrialisasi tanpa regulasi yang adil. Media akan berdiri di garda depan untuk memastikan fakta tidak ditutupi, dan hukum tidak mandul di hadapan kekuasaan ekonomi,” ujar Agung Sulistio.

Agung juga mendesak agar pemerintah daerah dan instansi penegak hukum seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kepolisian, segera turun melakukan investigasi menyeluruh terhadap aktivitas perusahaan yang diduga telah berlangsung lebih dari dua dekade.

Secara hukum, dugaan pencemaran lingkungan ini memiliki dasar kuat. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), disebutkan bahwa setiap orang atau korporasi dilarang membuang limbah berbahaya ke media lingkungan tanpa izin dan tanpa pengelolaan yang sesuai ketentuan.

Sanksi pidana bagi pelanggar diatur dalam Pasal 98, dengan ancaman penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar jika pencemaran menimbulkan korban manusia atau kerugian ekosistem yang luas.

Selain itu, aspek pertambangan batu bara dan penggunaan bahan baku industri turut diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, serta ketentuan dalam KUHP mengenai perbuatan yang membahayakan keselamatan umum dan lingkungan.

Kritik juga diarahkan terhadap pemerintah daerah. Salah satu narasumber dari kalangan masyarakat menyebut, selama lebih dari 20 tahun beroperasi, PT Indocement diduga tidak memberikan kontribusi yang memadai terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Cirebon. Hal ini memperkuat dugaan bahwa ada pembiaran sistematis atas praktik yang merugikan rakyat.

“Masyarakat Gempol dan sekitarnya mengutuk keras tindakan ini. Kami menuntut transparansi dari pemerintah daerah dan akan memastikan proses hukum tidak berhenti di tengah jalan,” tegas narasumber yang enggan disebutkan namanya.

Sebagai bentuk keseriusan, warga mendesak dilakukannya audit lingkungan independen, melibatkan ahli dari lembaga-lembaga akademik dan LSM yang kompeten. Mereka juga meminta pendampingan hukum dari lembaga advokasi agar hak-hak masyarakat atas lingkungan yang bersih dan sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945, dapat ditegakkan.

Kasus dugaan pencemaran lingkungan oleh PT Indocement di Cirebon bukan hanya persoalan teknis pengelolaan limbah, tetapi juga menyangkut hak konstitusional masyarakat, tanggung jawab sosial korporasi, serta transparansi pemerintah daerah. Tuntutan warga dan tokoh masyarakat agar hukum ditegakkan dan audit dilakukan secara terbuka menjadi panggilan moral bagi seluruh pemangku kepentingan.

Jika tidak ditangani serius, kasus ini berpotensi menjadi preseden buruk tentang bagaimana industri besar bisa beroperasi tanpa akuntabilitas yang memadai di negeri ini.

Sumber   :  Agung SBI

Editor      :  Chy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *