Cilacap – centralpers -!Pembangunan Menara Air untuk Jaringan Irigasi Air Tanah (JIAT) di desa Karanggedang kecamatan Sidareja kabupaten Cilacap Jawa Tengah menuai sorotan tajam. Proyek senilai Rp. 189.900.000 yang seharusnya selesai sekitar pertengahan bulan September 2025 tersebut tidak hanya mengalami keterlambatan, tetapi juga diselimuti kejanggalan terkait status pengerjaan.
Berdasarkan papan informasi proyek, program tersebut dibawah naungan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR yang dilaksanakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy. Proyek dengan Surat Perintah Kerja (SPK) No. 97/SPK-PL/Ax.7.3/2025 tersebut menunjuk CV. Jati Sunda sebagai penyedia jasa. Pekerjaan dimulai pada 21 Juli 2025 dengan durasi 60 hari kalender yang berarti tenggat waktu penyelesaiannya diduga mengalami keterlambatan.
Saat dikonfirmasi, pelaksana lapangan berinisial S tidak menampik adanya keterlambatan. Namun, ia memberikan pernyataan yang bertentangan dengan data dipapan informasi. Menurutnya, proyek ini dikerjakan dengan sistem swakelola, bukan melalui penunjukan penyedia jasa (kontraktor).
“Proyek ini merupakan swakelola, silakan tanya ke BBWS,” ujarnya kepada awak media pada Selasa, (30/9/2025).
Dia mengklaim bahwa meskipun yang mengerjakan adalah CV (perusahaan-red), statusnya adalah penunjukan swakelola yang tidak memiliki batas waktu. “Ini memang swakelola, bukan tender. Swakelola itu kan semua kembali ke masyarakat,” tambahnya.
Ia juga menyebutkan bahwa proyek JIAT ini merupakan bagian dari program Instruksi Presiden (Inpres) Ketahanan Pangan, yang menurutnya menjadi alasan mengapa pengerjaannya tidak melalui mekanisme tender. “Kalau ada yang dipertanyakan, silakan langsung ke BBWS,” pungkasnya.
Pernyataan S menimbulkan kebingungan karena terdapat perbedaan mendasar antara pengerjaan melalui penyedia jasa dan swakelola. Penyedia Jasa (Kontraktor), dikerjakan oleh pihak ketiga (perusahaan) berdasarkan kontrak yang jelas, termasuk spesifikasi teknis dan batas waktu yang mengikat. Kualitas hasil kerja lebih terjamin karena ditangani oleh profesional, namun umumnya memakan biaya lebih tinggi.
Sementara itu, swakelola, dikerjakan sendiri oleh instansi pemerintah terkait atau dengan memberdayakan kelompok masyarakat setempat. Tujuannya sering kali untuk mengoptimalkan sumber daya, meningkatkan partisipasi dan membangun keterampilan lokal. Meski bisa menekan biaya, kelemahannya adalah kualitas yang didapat akan bervariasi dan potensi waktu pengerjaan lebih lama.
Adanya nama CV. Jati Sunda sebagai “penyedia jasa” dipapan informasi proyek secara jelas mengindikasikan bahwa proyek ini seharusnya dikerjakan dengan mekanisme kontraktual, bukan swakelola. Dugaan pelanggaran administrasi dan prosedur pengadaan barang/jasa pun menguat akibat adanya dua informasi yang saling bertentangan ini.
Hingga berita ini diturunkan, pihak BBWS Citanduy belum memberikan keterangan resmi untuk memperjelas status proyek dan alasan keterlambatan pembangunan fasilitas irigasi yang vital bagi ketahanan pangan di wilayah tersebut.
Liputan : Muhiran
Editor : Chy