Blora, Jawa Tengah-Centralpress – Masyarakat Dukuh Dukuhan, Kelurahan Mlangsen Kabupaten Blora, kembali merayakan tradisi Kupatan atau Lebaran Ketupat pada hari ke-8 Syawal, Senin (7/3/2025). Ritual tahunan ini menjadi momen penting untuk mempererat tali silaturahmi antar masyarakat sekaligus napak tilas warisan leluhur yang sarat makna filosofis.
Kupatan yang juga disebut Syawalan merupakan tradisi turun-temurun yang diyakini bermula dari kreativitas ulama Jawa dalam menyebarkan Islam melalui simbol-simbol budaya. Ketupat, hidangan nasi dalam anyaman janur, menjadi ikon utama perayaan acara ini. Di Dukuhan Mlangsen, tradisi ini memiliki keunikan karena selalu digelar di halaman Masjid Al-Yahya, peninggalan Mbah Yahya, seorang tokoh agama asal Jatirogo Jawa Timur yang menetap di daerah ini sekitar tahun 1835.
“Tradisi ini sudah ada sejak saya kecil. Masjid Al-Yahya sendiri awalnya adalah langgar (musala) tempat Mbah Yahya mengajar ngaji,” tutur Ibu Ismiyati (85), sesepuh setempat sekaligus cucu dari Mbah Yahya. Menurutnya, lokasi masjid sengaja dipertahankan sebagai pusat perayaan untuk mendekatkan masyarakat dengan nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal.
Prosesi Sakral dan Semangat Gotong Royong
Persiapan Kupatan dimulai usai salat Subuh, warga menyiapkan ratusan ketupat, lepet (makanan dari ketan) dan lontong yang dibawa ke masjid dalam nampan berhiaskan lauk pelengkap seperti opor ayam, tahu, tempe dan lalapan. Sebelum acara, lantunan hadrah (shalawat) dan bunyi kentongan kayu tiga kali menjadi penanda dimulainya ritual.
“Kentongan pertama sebagai pengingat, kedua tanda bersiap, dan ketiga adalah sinyal untuk berkumpul di masjid,” jelas Mustofa, warga sekitar. Setiap keluarga juga membawa sedekah “wajib” (iuran sukarela) sebesar Rp20.000–Rp50.000 untuk dana pembangunan masjid, mencerminkan semangat gotong royong.
Acara inti diawali dengan pembacaan tahlil untuk mendoakan leluhur, dilanjutkan ceramah dari kyai setempat yang mengulas sejarah Kupatan sebagai warisan dakwah Walisongo, khususnya Sunan Kalijaga. “Kupatan mengajarkan kita untuk ‘ngaku lepat’ (mengakui kesalahan) dan ‘silep rapet’ (menutup kesalahan dengan erat),” tutur Kyai Shoim, salah seorang tokoh agama dalam ceramahnya.
Usai doa dan tahlil, warga menyantap hidangan secara bersama-sama sambil bertukar nampan. “Ini simbol kebersamaan. Kita tak tahu ketupat siapa yang dimakan, yang penting saling berbagi,” ujar Suparno, sesepuh lainnya.
Makna Filosofis di Balik Hidangan
Ketupat, lepet dan janur bukan sekadar makanan. Ketupat diambil dari kata “ngaku lepat” yang melambangkan pengakuan kesalahan, sementara lepet berasal dari kata “silep rapet” yang mengingatkan agar kesalahan seseorang tidak terulang dan tidak boleh disebarluaskan. Janur merupakan kependekan dari “jatining nur” atau cahaya hati yang merefleksikan kesucian setelah Ramadan. Bentuk anyaman ketupat yang rumit juga dianggap mencerminkan kompleksitas kehidupan yang harus diselesaikan dengan kesabaran.
Bagi warga Blora, Kupatan bukan hanya ritual tahunan, tetapi juga media penanaman nilai-nilai luhur. Tradisi ini diharapkan tetap lestari sebagai bukti harmonisasi agama, budaya, dan kearifan lokal di Nusantara.
Tradisi Kupatan di Blora menjadi contoh nyata bagaimana akulturasi budaya dan agama bisa berjalan berdampingan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, ritual ini tidak hanya memupuk persaudaraan tetapi juga menjaga warisan leluhur agar tetap relevan dengan perkembangan budaya di era modern.