Pemalang – centralpers – Aktivitas pengangkutan material Galian C di Dukuh Clapar, Desa Karanganyar, Kecamatan Bantarbolang, Kabupaten Pemalang, memunculkan pertanyaan serius mengenai tata kelola pertambangan dan pengawasan negara. Puluhan truk bermuatan pasir dan batu melintas setiap hari melalui jalur yang dipersoalkan statusnya, sementara dampak lingkungan dan keselamatan warga terus berulang.
Warga sekitar menilai jalur tersebut berfungsi layaknya akses privat industri tambang. Tidak ditemukan papan informasi yang menjelaskan dasar hukum pemanfaatan jalan, izin kerja sama, maupun bentuk kontribusi kepada negara. “Yang kami lihat hanya truk lalu-lalang, jalan rusak, debu masuk ke rumah. Soal izin dan tanggung jawab lingkungan, kami tidak pernah diberi penjelasan,” kata seorang warga Clapar.
Kondisi fisik jalan menunjukkan kerusakan signifikan. Saat musim kemarau, debu tebal mengganggu kesehatan dan jarak pandang. Ketika hujan, jalan berubah menjadi licin dan berlumpur, meningkatkan risiko kecelakaan. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa aktivitas ekonomi berjalan tanpa pengendalian risiko yang memadai.
Klarifikasi KPH PEMALANG
Pihak KPH Pemalang menyatakan bahwa lintasan yang digunakan truk merupakan jalan DK eks jalan lori, bukan kawasan hutan. KPH juga mengonfirmasi adanya Perjanjian Kerja Sama (PKS) Nomor 11/044.3/PKS/Sarpra/Pml/2024 atas nama Tegar Prasetyadi, berlaku hingga 24 September 2026, yang mengatur penggunaan jalan untuk angkutan pasir.
Namun, bagi warga dan pemerhati kebijakan publik, klarifikasi administratif tersebut belum menyentuh persoalan utama. Transparansi isi perjanjian, mekanisme pengawasan di lapangan, serta evaluasi dampak lingkungan dinilai belum disampaikan secara terbuka kepada masyarakat terdampak.
“Legalitas dokumen tidak otomatis menjawab soal keselamatan warga dan kerusakan lingkungan. Itu dua hal berbeda yang sama-sama wajib dipenuhi,” ujar seorang pengamat kebijakan di Pemalang.
Reklamasi Jadi Titik Kritis
Sorotan tajam datang dari Agung Sulistio, Pimpinan Redaksi Sahabat Bhayangkara Indonesia. Ia menilai persoalan reklamasi pasca tambang menjadi titik paling krusial yang selama ini diabaikan.
“Banyak pengusaha tambang berdalih lahan milik pribadi, lalu menganggap reklamasi tidak wajib. Padahal, undang-undang tegas menyatakan kewajiban reklamasi berlaku tanpa melihat siapa pemilik lahannya,” kata Agung.
Menurutnya, pembiaran lubang bekas tambang bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan ancaman nyata bagi keselamatan publik dan lingkungan.
Ia menegaskan, praktik semacam itu berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang mewajibkan reklamasi dan pasca tambang, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memuat ancaman pidana bagi perusakan lingkungan akibat kelalaian.
Antara Legalitas dan Tanggung Jawab Negara
Kasus di Pemalang ini mencerminkan persoalan klasik dalam tata kelola sumber daya alam: aktivitas ekonomi berjalan cepat, sementara pengawasan dan transparansi tertinggal.
Keberadaan PKS dan klaim legalitas akses jalan belum sepenuhnya menjawab keresahan warga terkait dampak nyata di lapangan.
Publik kini menunggu langkah konkret pemerintah daerah dan aparat pengawas. Apakah pengawasan reklamasi akan ditegakkan, dan apakah informasi kerja sama pemanfaatan aset negara akan dibuka secara transparan.
Tanpa itu, aktivitas truk yang terus melintas bukan hanya memicu protes warga, tetapi juga memperkuat dugaan lemahnya kehadiran negara dalam melindungi lingkungan dan keselamatan masyarakat.
Sumber : AgungSBI
Editor : Chy












