Merajut Filosofi Jawa dalam Gelaran Wayang Kulit di Empat Desa, Pilar Pembangunan Karakter Bangsa di Kabupaten Cilacap

Cilacap – centralpers – Cilacap, sebuah kabupaten di provinsi Jawa Tengah yang dikenal dengan kekayaan budayanya, kembali menjadi saksi vitalitas seni tradisional. Setelah desa Karanggedang dan Penyarang, desa Margasari yang masih masuk kecamatan Sidareja serta tiga desa yakni Layansari, Karanggintung dan Karanganyar di kecamatan Gandrungmangu serentak menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk dalam peringatan HUT RI ke-80 pada Selasa, (19/08/2025).

Kehadiran tokoh-tokoh penting, mulai dari Anggota DPRD Kabupaten Cilacap dari Fraksi PKB Saeful Musta’in, Camat Sidareja Nugroho Slamet B. Santosa, S.STP., M.Si., Camat Gandrungmangu Fathan Adi Chandra, S.STP., M.Si., jajaran Forkopimcam dan perangkat desa, menegaskan dukungan institusional terhadap penguatan pondasi budaya di tingkat akar rumput.

Acara ini bukan sekadar pementasan, melainkan sebuah manifestasi nyata dari upaya kolektif masyarakat dan pemerintah desa dalam melestarikan sekaligus menginternalisasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam seni pewayangan. Lebih dari sekadar hiburan, setiap lakon yang dipentaskan para dalang menawarkan refleksi mendalam tentang kehidupan, kepemimpinan dan spiritualitas. Dari empat lakon yang dibawakan, terlihat benang merah yang kuat, yaitu ajakan untuk kembali pada diri sendiri, memperkuat gotong royong serta membangun karakter moral sebagai landasan utama kemajuan.

Di desa Margasari kecamatan Sidareja, Ki Dalang Eko Suwaryo menampilkan lakon “Ruwat Karungkuala”. Kisah ini memotret perjalanan seorang anak yang terlahir cacat fisik, Karungkuala, yang dikucilkan masyarakat. Alih-alih menyerah pada takdir, ia memilih jalan spiritual untuk mencari Dewa Ruci. Perjalanan ini merupakan metafora dari pencarian jati diri yang melampaui batasan fisik. Saat memasuki tubuh Dewa Ruci, Karungkuala melihat alam semesta yang maha luas, menyadari bahwa cacatnya hanyalah bagian kecil dari kebesaran kosmik. Pencerahan ini membebaskannya dari belenggu rasa malu, memulihkan wujudnya menjadi manusia seutuhnya.

Lakon ini mengajarkan filosofi manunggaling kawula Gusti atau persatuan hamba dengan Tuhannya, dimana kesempurnaan sejati tidak didapat dari luar, melainkan dari olah batin dan penerimaan diri. Pesan utamanya adalah pembangunan sejati dimulai dari dalam diri, yaitu dengan membersihkan hati dan menaklukkan ego.

Ki Dalang Sigit Djono Saputro di desa Layansari kecamatan Gandrungmangu membawakan lakon “Semar Mbangun Desa”. Lakon ini menyoroti kekacauan di Kerajaan Amarta yang disebabkan oleh hilangnya semangat kebersamaan. Semar, sebagai figur pemimpin spiritual, tidak hanya memberikan bantuan magis, melainkan turun langsung ke desa, menggerakkan masyarakat untuk bergotong royong sekaligus menanamkan kembali nilai-nilai moral.

Filosofi lakon ini sangat relevan dengan konteks pembangunan desa saat ini. Lakon ini mengajarkan kepemimpinan yang melayani (servant leadership), dimana pemimpin sejati tidak hanya memerintah, tetapi juga berbaur dan memberdayakan rakyatnya. Gotong royong ditekankan sebagai kekuatan utama yang mampu mengatasi berbagai krisis sosial dan ekonomi. Kisah ini adalah pengingat bahwa pembangunan fisik tidak akan berkelanjutan tanpa pembangunan mental dan spiritual.

Di desa Karanggintung, lakon “Semar Mbangun Candi Pasar Sore” yang dibawakan oleh Ki Dalang Muhaimin Gunardi memberikan perspektif lain tentang pembangunan. “Candi” yang dibangun Semar bukanlah bangunan fisik, melainkan metafora untuk hati dan jiwa manusia. Atas perintah Batara Guru, Semar mengumpulkan para punakawan untuk membangun “candi” dengan doa, laku prihatin dan ketulusan hati. Proses ini merupakan pertarungan melawan godaan-godaan internal seperti iri hati dan keserakahan. Hasilnya, “candi” yang berdiri memancarkan cahaya serta harmoni, memulihkan keseimbangan alam dan moral manusia.

Lakon ini menggarisbawahi bahwa perbaikan dunia harus dimulai dari perbaikan diri. Pembangunan sejati adalah pembangunan karakter, dimana pondasi keadilan dan harmoni hanya dapat dicapai melalui pembersihan hati. Pesan ini menekankan keseimbangan antara aspek material juga spiritual dalam kehidupan, serta pentingnya kerendahan hati dalam mengemban tanggung jawab.

Terakhir, di desa Karanganyar, Ki Dalang Guntur Riyanto mementaskan lakon “Bima Ngaji”. Kisah ini hampir serupa dengan “Ruwat Karungkuala”, namun dengan fokus pada pencarian ilmu sejati. Bima, satria perkasa, merasa gelisah dan mencari guru sejati. Ia bertemu Dewa Ruci yang memerintahkannya masuk kedalam samudra. Disana, ia tidak menemukan “air kehidupan” yang Bima cari diluar, melainkan menyadari bahwa pengetahuan sejati ada didalam dirinya sendiri. Melalui Dewa Ruci, Bima memahami konsep Sedulur Papat Lima Pancer yang melambangkan empat unsur dasar dan jiwa sebagai pusatnya.

Lakon ini adalah ajaran tentang manunggaling kawula Gusti yang lebih mendalam, bahwa jalan menuju pencerahan spiritual adalah melalui introspeksi, penaklukan ego dan penyatuan diri dengan kehendak Ilahi yang ada di dalam setiap manusia. Samudra melambangkan godaan duniawi, perjalanan Bima adalah metafora dari laku prihatin yang diperlukan untuk membersihkan batin.

Secara keseluruhan, gelaran wayang kulit di Cilacap ini membuktikan bahwa seni tradisional bukan peninggalan masa lalu yang usang, melainkan sumber kearifan yang relevan dan esensial. Setiap lakon yang dipentaskan berfungsi sebagai “sekolah kehidupan”, mengajarkan nilai-nilai universal yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang harmonis dan berkarakter. Pertunjukan ini bukan hanya melestarikan budaya, melainkan juga menanamkan pondasi moral yang kuat bagi generasi mendatang, memastikan bahwa jati diri bangsa tetap berakar pada kebijaksanaan lokal.

Liputan  :  Muhiran
Editor.    :  Chy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *