Membedah Profesionalisme di Balik Lencana Wartawan di Kabupaten Cilacap

Cilacap – centralpers – Ditengah derasnya arus informasi, profesi jurnalis berdiri sebagai pilar keempat demokrasi, sebuah garda terdepan yang esensial bagi kesehatan bangsa dan negara. Namun, citra mulia ini seringkali tergores oleh ulah oknum yang menyalahgunakan lencana pers untuk kepentingan pribadi yang jauh dari marwah jurnalistik. Masyarakat kerap dibuat bingung, bahkan sinis, karena sulit membedakan mana jurnalis sejati yang bekerja dengan hati nurani dan mana predator yang hanya berkedok profesi.

Seorang jurnalis profesional bukanlah preman, ia bukan individu yang datang dengan arogansi, mengintimidasi atau menjadi backing proyek-proyek yang menggunakan anggaran negara. Sebaliknya, jurnalis sejati adalah seorang intelektual lapangan dengan bekal pengetahuan, wawasan serta pengalaman diatas rata-rata. Ia mengabdikan dirinya untuk menyampaikan informasi secara ikhlas, jujur, dan berimbang. Tujuan utamanya adalah memberikan pencerahan publik demi kepentingan masyarakat luas.

Profesionalisme seorang jurnalis juga tercermin dari pendekatannya, ia bukan pencari-cari kesalahan yang tujuannya untuk menjatuhkan atau mempermalukan narasumber. Perannya adalah sebagai agen informasi, literasi dan sosialisasi. Melalui karya tulis atau karya jurnalistik, ia menyajikan fakta, menganalisis masalah dan tidak jarang justru menawarkan sudut pandang yang solutif. Kemampuannya dalam mengolah informasi, didukung oleh literasi yang mumpuni, memungkinkannya untuk mengubah data mentah menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi publik. Karya yang lahir dari hati nuraninya tidak hanya melaporkan “apa yang terjadi”, tetapi juga menjelaskan “mengapa itu terjadi” dan “bagaimana dampaknya”.

Prinsip fundamental lain yang membedakan jurnalis sejati adalah independensinya. Seorang jurnalis berkompeten hanya tunduk pada otoritas utama yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Aturan Dewan Pers dan kebijakan redaksional perusahaan media yang menaunginya secara sah. Diluar itu, ia tidak memiliki kewajiban untuk tunduk pada siapapun. Seorang jurnalis tidak akan tunduk pada tekanan dari teman sesama profesi, apalagi jika berasal dari perusahaan media yang berbeda. Ia tidak terikat oleh solidaritas buta dalam aliansi atau organisasi yang menyimpang dari kaidah jurnalistik. Loyalitas utamanya adalah pada kebenaran, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan pembacanya, bukan pada kelompok atau kolega. Sikap inilah yang menjaga objektivitas dan integritasnya dalam setiap pemberitaan.

Bagi masyarakat awam, cara paling mudah untuk membedakan jurnalis berkompeten dengan oknum sangatlah sederhana yakni dengan melihat karya tulisnya. Sebuah lencana pers atau Kartu Tanda Anggota (KTA) bukan jaminan kompetensi. Bukti paling otentik dari seorang jurnalis adalah jejak digital dan fisik dari karya-karya yang pernah ia hasilkan.

Seorang jurnalis media cetak yang kompeten dan aktif akan memiliki karya tulis yang terbit secara reguler. Namanya (seringkali dalam bentuk byline) akan mudah ditemukan dalam hampir setiap edisi koran atau majalah tempatnya bekerja. Ia memiliki portofolio yang jelas dan terukur. Sementara untuk jurnalis media online, rekam jejak digital jurnalis tersebut sangat mudah untuk dilacak di era digital saat ini. Cukup dengan mengetikkan namanya dan nama medianya di mesin pencari seperti Google, maka sederet artikel, berita atau liputan yang pernah dibuatnya akan muncul. Jejak digital ini adalah Curiculum Vitae (CV) hidup yang tidak bisa dimanipulasi. Untuk jurnalis media penyiaran (audio/visual), karyanya mungkin tidak selalu tertulis. Namun, verifikasi dapat dilakukan dengan mudah, dengan cara menghubungi langsung redaksi media yang bersangkutan untuk menanyakan status dan aktivitas jurnalistiknya. Selain itu, nama reporter atau produser seringkali dicantumkan dalam tayangan kredit di akhir sebuah program berita atau dokumenter.

Jika seseorang mengaku jurnalis namun tidak memiliki satupun dari bukti karya di atas, maka patut dipertanyakan keabsahan dan niatnya.

Disisi lain, terdapat oknum yang hanya mengandalkan KTA dan surat tugas sebagai tameng. Meskipun namanya mungkin tercantum dalam box redaksi, ia tidak pernah menghasilkan satu pun karya jurnalistik, kalaupun membuat karya tulis, dia tidak akan menggunakan nama ataupun inisial tetapi menggunakan tim, team ataupun red. Karena tujuan mereka dari awal bukanlah untuk memberikan informasi, edukasi dan sosialisasi. Tujuan utama mereka adalah mencari keuntungan pribadi dengan cara-cara kotor. Modus operandinya selalu sama yaitu mencari-cari kesalahan, baik pada instansi pemerintah, perusahaan swasta maupun individu. Kesalahan minor atau bahkan yang direkayasa dapat dijadikan bahan untuk memeras (extortion). Mereka tidak datang untuk konfirmasi yang berimbang, melainkan untuk negosiasi “uang damai”.

Ciri-ciri mereka sangat mudah dikenali, biasanya mereka selalu bergerombol, mereka jarang beraksi sendirian. Biasanya mereka datang berkelompok untuk menciptakan efek intimidasi psikologis terhadap targetnya. Gaya komunikasi mereka jauh dari etika, mereka menggunakan tekanan dan ancaman terselubung (akan “memberitakan negatif”), hingga premanisme verbal. Selain itu, mereka hampir tidak pernah terlihat dalam kegiatan yang bersifat informatif dan edukatif seperti seminar, konferensi pers yang legitimate atau lokakarya. Bagi mereka, acara semacam itu “tidak ada uangnya” dan hanya membuang waktu.

Sebaliknya, mereka akan menjadi yang paling cepat hadir ketika mendengar ada isu yang berpotensi menjadi “ATM berjalan”. Mereka akan agresif mendatangi narasumber yang mereka anggap bisa diperas, ditipu atau dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi. Mereka adalah parasit yang merusak ekosistem media dan kepercayaan publik, keberadaan mereka adalah racun bagi profesi jurnalis yang terhormat.

Seorang jurnalis yang berkompeten akan aktif membuat karya tulis, karena dari karya tulis tersebut ia mendapatkan penghasilan yang layak, jelas dan etis dari profesinya. Selain gaji pokok dari perusahaan media, mereka seringkali mendapatkan insentif yang dihitung berdasarkan produktivitas dan kualitas karya tulis. Dibanyak media yang sehat, ada juga pembagian pendapatan dari iklan atau program kerjasama melalui Memorandum of Understanding (MoU) yang sah antara institusi (pemerintah atau swasta) dengan perusahaan media tempatnya bernaung. Setiap perusahaan media memiliki aturan main tersendiri dalam memberikan upah bagi jurnalisnya, namun semua mekanisme tersebut harus berjalan dalam koridor hukum dan etika. Penerimaan upah atau insentif tidak boleh berasal dari hasil pemerasan atau gratifikasi yang dapat mencederai independensi dan integritasnya.

Membedakan jurnalis sejati dan oknum adalah sebuah keharusan, karena jurnalis sejati adalah aset bangsa, sementara oknum adalah penyakit sosial. Sebagai masyarakat, kita memegang peranan sangat penting, jangan pernah ragu untuk memverifikasi identitas dan karya seorang yang mengaku jurnalis dan meminta menunjukkan hasil karya tulisnya, bukan hanya KTA dan surat tugasnya.

Dukunglah media dan jurnalis yang terbukti secara konsisten menyajikan informasi yang mencerahkan, mendidik dan membangun. Sebaliknya, jangan beri ruang bagi para oknum berkedok pers. Laporkan tindakan pemerasan atau intimidasi kepada pihak berwenang atau Dewan Pers. Dengan menjadi konsumen informasi yang cerdas dan kritis, kita turut serta menjaga marwah jurnalisme dan merawat pilar demokrasi Indonesia.

Penulis  :  Muhiran
(Wakil Pimpinan Redaksi Media Online centralpers)
Editor    :  Chy

Exit mobile version