Lakon Wahyu Cakraningrat, Cermin Kepemimpinan di Peringatan Kemerdekaan Desa Cisumur Hingga September

Cilacap – centralpers – Gegap gempita peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-80 di desa Cisumur kecamatan Gandrungmangu masih terasa hingga bulan September 2025. Puncak peringatan tersebut diakhiri ruwat bumi yang ditandai dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk bersama Ki Dalang Eko Suwaryo dari Kebumen mengambil lakon “Wahyu Cakraningrat”. Kegiatan dilaksanakan di balai desa Cisumur kecamatan Gandrungmangu kabupaten Cilacap Jawa Tengah pada Selasa, (09/09/2025).

Hadir dalam kegiatan tersebut diantaranya adalah anggota DPRD kabupaten Cilacap dari Fraksi PKB H. Ahmad dan Mashuri dari Fraksi Partai Nasdem serta Suheri dari Fraksi Partai Gerindra, Camat Gandrungmangu Fathan Adi Chandra, S.STP., MM yang diwakili oleh Sekcam Tuyar, SE., Danramil Gandrungmangu Kapt. Inf. Sutarman, SH., Kapolsek Gandrungmangu Iptu Budi Pitoyo, SH., Pj. Kades Cisumur Ruswanto, S.Sos beserta Sekdes dan perangkat desa, seluruh Kades se-kecamatan Gandrungmangu, Ketua BPD Sidaurip Muharis, S.PdI., M.Pd., RT juga RW, Tokoh masyarakat, Tokoh Agama serta masyarakat.

Dalam sambutannya, Ketua BPD desa Cisumur menyampaikan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang sudah hadir untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit di balai desa, ungkapnya.

Lebih lanjut, Muharis mengatakan bahwa, BPD merupakan mitra strategis Pemerintah Desa (Pemdes), ia bersyukur malam ini bersama masyarakat melaksanakan pagelaran wayang kulit yang sudah beberapa tahun tidak diadakan, semoga kegiatan tersebut berjalan dengan lancar, harapnya.

Sementara itu, Camat Gandrungmangu yang diwakili oleh Sekcam Sekcam dalam sambutannya menyampaikan permohonan maaf sebab Camat Gandrungmangu tidak bisa hadir langsung karena ada kegiatan di kota Cilacap, jelasnya.

Tuyar mengatakan bahwa, atas nama pemerintah kecamatan Gandrungmangu mengucapkan selamat atas terselenggaranya ruwat bumi dan dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk yang merupakan ungkapan rasa syukur. Semoga masyarakat desa Cisumur makin sehat, sejahtera, bertambah rezeki, gembira, bersatu dan makin maju, ujarnya.

Perlu diketahui oleh masyarakat bahwa, dalam pewayangan Jawa, Wahyu Cakraningrat merupakan wahyu atau anugerah ilahi yang menjadi simbol legitimasi bagi seorang calon pemimpin atau raja. Siapa pun yang berhasil mendapatkan wahyu ini diyakini akan menurunkan raja-raja besar. Wahyu ini bukanlah benda, melainkan cahaya ilahi dan akan menyatu dengan ksatria yang dianggap paling layak secara lahir dan batin.

Cerita singkat dalam lakon ini berpusat pada persaingan antara putra Pandawa dan Kurawa untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat sebagai bekal untuk menjadi penerus takhta Hastinapura. Pencarian pun dimulai, para dewa memutuskan untuk menurunkan Wahyu Cakraningrat ke dunia untuk menentukan siapa yang paling pantas memimpin. Kabar ini sampai ke telinga Pandawa dan Kurawa. Dua kandidat utama yakni dari pihak Pandawa adalah Abimanyu (putra Arjuna). Ia dikenal sebagai ksatria yang rendah hati, tekun dan tulus. Sementara itu, dari pihak Kurawa, kandidat kuat adalah Lesmana Mandrakumara (putra Duryudana) yang bersifat manja, sombong dan lebih mengandalkan kekuasaan ayahnya.

Abimanyu, dengan bimbingan para punakawan (terutama Semar), menjalankan laku prihatin yaitu bertapa, menyucikan diri dn mengendalikan hawa nafsu dengan sungguh-sungguh. Ia pergi ketempat sunyi seperti Hutan Krendayana, menghadapi berbagai cobaan dan godaan dengan kesabaran. Lesmana sebaliknya, tidak mau bersusah payah, ia meminta ayahnya mengerahkan pasukan untuk “menangkap” wahyu tersebut, menunjukkan bahwa ia ingin meraih kekuasaan dengan cara instan dan paksaan.

Setelah melalui proses penyucian diri yang berat, hati Abimanyu menjadi bersih dan siap, Wahyu Cakraningrat pun turun dari langit dalam wujud cahaya agung dan masuk ke dalam tubuh Abimanyu. Pihak Kurawa yang melihat hal ini menjadi murka dan mencoba merebut wahyu dengan kekerasan sehingga terjadilah pertempuran, dimana Abimanyu yang telah “dijiwai” oleh wahyu tersebut menunjukkan kesaktiannya. Meski begitu, sering kali cerita ini diakhiri dengan pesan bahwa wahyu ini tidak menjamin Abimanyu akan menjadi raja, ia ditakdirkan gugur muda dalam Perang Baratayuda. Namun, Wahyu Cakraningrat akan tetap diwariskan kepada putranya yang masih dalam kandungan yakni Parikesit, yang kelak menjadi raja besar Hastinapura setelah perang usai.

Banyak ajaran luhur dan filosofi yang bisa kita dapatkan dalam lakon Wahyu Cakraningrat terutama tentang kepemimpinan. Pelajaran utama adalah bahwa takhta dan kekuasaan bukanlah sesuatu yang bisa diwariskan atau direbut paksa. Ia harus diraih melalui kelayakan pribadi, kesucian hati dan perjuangan spiritual. Untuk menjadi pemimpin besar, seseorang harus mampu mengalahkan musuh terbesar yaitu hawa nafsu dalam diri sendiri. Proses bertapa, berpuasa dan menahan diri adalah simbol dari penempaan karakter dan mental yang wajib dimiliki seorang pemimpin.

Selain itu, mendapatkan wahyu bukanlah akhir melainkan awal dari sebuah tanggung jawab yang sangat berat. Nasib Abimanyu yang harus gugur muda menunjukkan bahwa menjadi pilihan takdir sering kali menuntut pengorbanan yang luar biasa. Seorang pemimpin tidak cukup hanya sakti atau pintar dalam strategi (kemampuan lahiriah), namun harus memiliki watak yang mulia, adil, bijaksana dan dekat dengan Tuhan (kemampuan batiniah). Wahyu Cakraningrat hanya tertarik pada keseimbangan ini.

Lakon Wahyu Cakraningrat memastikan bahwa kepemimpinan yang adil dan benar tidak akan terputus, meskipun sang pembawa wahyu (Abimanyu) gugur, esensi kepemimpinan itu akan terus berlanjut ke generasi berikutnya (Parikesit) dan memberikan harapan akan masa depan yang lebih baik.

Liputan  :  Muhiran
Editor     :  Chy

Exit mobile version