Negara Jangan Jadi Makelar Tanah — Saat Hak Adat Dibenturkan dengan Izin Korporasi

Bandung – centralpers – Konflik agraria sejak lama menjadi cermin ketidakberesan tata kelola tanah di Indonesia. Di banyak daerah, termasuk Jawa Barat, negara hadir bukan sebagai penjaga keadilan, tetapi justru sebagai pemeran utama yang memproduksi konflik melalui penerbitan izin—HGU, HGB, izin tambang, maupun izin lokasi—yang kerap menabrak sejarah penguasaan tanah masyarakat adat, petani, dan penggarap.

Padahal, amanat konstitusi sangat jelas: tanah adalah untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk mempercepat ekspansi pemilik modal.

Namun ribuan sengketa agraria menunjukkan sebaliknya: rakyat pemilik identitas dan penguasaan historis harus menghadapi perusahaan yang datang dengan selembar surat izin dari negara.

Ketika Hak yang Hidup Kalah oleh Dokumen yang Baru Lahir

Sengketa agraria hampir selalu mempertemukan dua hal : hak adat yang hidup, dan hak administratif yang dibuat.

Hak adat bertahan karena komunitas memelihara, mengolah, dan menguasai tanah secara turun-temurun.

Hak perusahaan hadir hanya karena keputusan administratif dari pemerintah.

Tetapi sering kali, yang dihormati justru dokumen administratif itu, sementara fakta sosial yang hidup ratusan tahun dianggap tak lebih dari cerita.

Pertanyaannya :
Bagaimana logikanya tanah yang diwariskan leluhur dianggap “ilegal”, sementara tanah yang diberikan pejabat baru lima tahun lalu disebut “sah”?

Ini bukan sekadar ketidakadilan, tetapi pelecehan terhadap logika hukum itu sendiri.

Negara Hanya Pengelola, Bukan Pemilik. Tapi Sering Bertindak Seolah Tuhan Tanah

Putusan MK No. 45/2010 sudah sangat terang: negara bukan pemilik tanah, negara hanya pemegang mandat kewenangan publik. Negara tidak berhak membagi-bagikan tanah seenaknya tanpa mempertimbangkan hak yang sudah ada.

Namun dalam praktik, negara terlalu sering bertindak seperti pemilik absolut :

menerbitkan HGU di atas tanah yang sudah dihuni petani puluhan tahun,

memberi izin tambang tanpa konsultasi publik,

mengabaikan keberadaan tanah ulayat,

atau bahkan membiarkan masyarakat dikriminalisasi ketika mempertahankan ruang hidupnya.

Padahal konstitusi mengatakan sebaliknya.

Putusan MK lebih tegas lagi.
UUPA lebih jelas lagi.

Masalahnya bukan pada aturan, tetapi keberpihakan.

Fungsi Sosial Tanah: Prinsip yang Hilang dari Meja Perizinan

Pasal 6 UUPA menyatakan bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Artinya, tanah tidak boleh dikuasai hanya untuk kepentingan ekonomi sempit. Tanah harus memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.

Jika sebuah izin :

memiskinkan rakyat,

merusak lingkungan,

menghilangkan sumber air,

menghapus ruang hidup masyarakat adat,

maka sebenarnya izin tersebut sudah kehilangan dasar hukumnya.
Izin bisa—dan seharusnya—dibatalkan.

Namun logika hukum itu seolah dipendam demi melanggengkan investasi yang tak jarang merugikan rakyat.

Kita Tidak Kekurangan Aturan, Kita Kekurangan Keberpihakan

Dalam pengalaman advokasi, LBH HAPI Jawa Barat menemukan bahwa sengketa tidak lahir dari kekosongan hukum. Justru sebaliknya, konflik muncul karena hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya.

UUPA sangat jelas.
Putusan MK sangat progresif.
Konstitusi sangat tegas.

Lalu mengapa rakyat tetap kalah?

Karena hukum sering tunduk kepada kepentingan, bukan kepada keadilan.

Reforma Agraria Bukan Slogan — Ia Harus Menjadi Keberanian Politik

Jika negara ingin memulihkan kepercayaan publik, pemerintah harus mengambil langkah konkret:

1. Audit total semua HGU, konsesi tambang, dan izin perkebunan lama

Banyak izin dikeluarkan tanpa konsultasi publik yang layak.

2. Tegakkan putusan MK 35/2012 tentang hutan adat

Tanah adat bukan tanah negara. Ini bukan teori — ini hukum.

3. Prioritaskan rakyat, bukan pemilik modal

Hak ulayat dan penguasaan historis tidak boleh dikalahkan oleh investasi kilat.

4. Penguatan pengadilan sebagai benteng terakhir rakyat

Hakim harus melihat fakta sosial, bukan hanya dokumen administratif.

Penutup: Negara Harus Kembali Menjadi Pelindung, Bukan Makelar

Selama negara memandang tanah hanya sebagai objek izin, konflik agraria akan terus berdarah.
Selama pejabat lebih sibuk mengurus konsesi daripada mengurus rakyat, keadilan tidak akan pernah lahir.

Tanah bukan sekadar angka dalam dokumen proyek.
Tanah adalah kehidupan, identitas, dan masa depan masyarakat.

Negara tidak boleh menjadi makelar tanah. Negara harus kembali menjadi penjaga keadilan.

Sumber  :  DENI HERMAWAN, S.H., M.H.
Ketua LBH HAPI Provinsi Jawa Barat

Editor     :  Chy

 

Exit mobile version