Empat Pulau di Aceh : Menelaah Polemik Batas Wilayah dan Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori

Hukum Tata Negara

Aceh, Central Pers – Provinsi Aceh, dengan garis pantai yang memanjang dan gugusan pulau-pulau kecilnya, kerap menjadi sorotan dalam berbagai isu, termasuk yang berkaitan dengan wilayah administratif. Belakangan ini, perbincangan seputar empat pulau di Aceh telah menjadi topik hangat di media sosial dan berbagai platform diskusi. Viralnya isu ini seringkali memicu perdebatan sengit mengenai status kepemilikan, batas wilayah hingga implikasi hukumnya. Dalam konteks ini, penting untuk menelaah polemik tersebut melalui kacamata hukum tata negara, khususnya asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, guna memahami kerangka penyelesaian yang sah.

Isu viral mengenai pulau-pulau di suatu daerah umumnya berakar pada beberapa kemungkinan, diantaranya adalah adanya klaim tumpang tindih oleh provinsi tetangga, ketidakjelasan batas wilayah yang belum final, pembangunan dan pengelolaan oleh pihak di luar kewenangan administratif atau bahkan narasi historis yang diinterpretasikan berbeda. Penetapan batas wilayah antar provinsi di Indonesia merupakan domain hukum publik yang diatur secara ketat. Proses ini tidak bisa dilakukan secara sepihak atau berdasarkan klaim historis semata tanpa legitimasi hukum yang kuat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menjadi landasan tertinggi bagi seluruh peraturan perundang-undangan, termasuk yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan pembentukan/perubahan wilayah.

Secara spesifik, dasar hukum utama untuk penetapan batas wilayah antar provinsi adalah Undang-Undang Pembentukan Provinsi yang bersangkutan atau Undang-Undang tentang Perubahan Batas Wilayah Provinsi. Undang-Undang ini biasanya memuat lampiran berupa peta dan koordinat geografis yang secara eksplisit menunjukkan batas-batas wilayah administratif. Selain itu, Peraturan Pemerintah (PP) atau Keputusan Presiden (Keppres) dapat diterbitkan untuk merincikan lebih lanjut batas-batas tersebut, namun tetap harus sesuai dengan amanat Undang-Undang diatasnya.

Dalam konteks batas wilayah, Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori menjadi salah satu pilar utama dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Asas ini menegaskan bahwa norma hukum yang lebih tinggi mengesampingkan norma hukum yang lebih rendah apabila terjadi pertentangan. Dalam konteks sengketa batas wilayah, asas ini memegang peranan krusial. UUD NRI 1945 sebagai norma tertinggi merupakan aturan tertinggi dalam segala bentuk penetapan dan perubahan batas wilayah haruslah sejalan dengan konstitusi. Klaim atau tindakan yang bertentangan dengan semangat kesatuan dan keutuhan wilayah NKRI yang diamanatkan UUD NRI 1945 akan dianggap inkonstitusional.

Sementara itu, Undang-Undang tentang Pembentukan Provinsi atau Undang-Undang tentang Perubahan Batas Wilayah memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada peraturan di bawahnya seperti Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah. Oleh karena itu, jika ada peraturan yang lebih rendah mencoba mengubah atau menafsirkan batas wilayah yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang secara berbeda, maka peraturan yang lebih rendah tersebut dapat dibatalkan atau dianggap tidak berlaku sejauh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi.

Selain itu, asas konsistensi hukum menuntut konsistensi dalam sistem hukum yang berarti bahwa seluruh peraturan perundang-undangan harus saling mendukung dan tidak boleh saling bertentangan secara hierarkis. Jika ada dua provinsi mengklaim kepemilikan atas satu pulau berdasarkan dua peraturan yang berbeda, maka harus dilihat peraturan mana yang memiliki kedudukan hukum lebih tinggi dan lebih spesifik mengatur mengenai pulau tersebut.

Polemik mengenai empat pulau di Aceh dapat berkembang menjadi sengketa batas wilayah antarprovinsi, namun terdapat mekanisme hukum yang bisa ditempuh, bukan melalui klaim sepihak atau manuver administratif yang tidak sah. Mekanisme tersebut diantaranya adalah :

– Musyawarah dan Negosiasi.

Langkah pertama dan utama adalah musyawarah antarprovinsi yang bersengketa, difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kemendagri memiliki peran sentral dalam memfasilitasi penegasan dan penyelesaian batas daerah. Tim teknis dari Kemendagri akan mengumpulkan data, peta dan dokumen hukum terkait.

– Penetapan oleh Pemerintah Pusat.

Jika musyawarah tidak mencapai kesepakatan, Pemerintah Pusat, dalam hal ini Presiden melalui Kemendagri, dapat mengeluarkan peraturan (misalnya Peraturan Presiden) untuk menegaskan batas wilayah berdasarkan data dan kajian yang komprehensif, dengan tetap merujuk pada Undang-Undang yang menjadi dasar pembentukan provinsi.

– Gugatan ke Mahkamah Agung.

Apabila salah satu provinsi merasa keberatan dengan peraturan penetapan batas wilayah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, jalur hukum terakhir yang bisa ditempuh adalah mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). MA akan menguji apakah peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau asas-asas hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori akan menjadi salah satu pertimbangan utama MA dalam memutus perkara. MA akan memeriksa apakah penetapan batas tersebut sudah sesuai dengan Undang-Undang dasar pembentukan provinsi dan peraturan perundang-undangan lain yang setara atau lebih tinggi.

Virulensi isu mengenai empat pulau di Aceh adalah cerminan dari sensitivitas isu batas wilayah. Sengketa atau polemik semacam ini harus disikapi dengan kepala dingin dan diselesaikan melalui koridor hukum yang berlaku. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Pembentukan Provinsi dan UUD NRI 1945, harus menjadi rujukan utama dalam menentukan status hukum suatu wilayah.

Setiap klaim atau tindakan yang mengarah pada perubahan batas wilayah tanpa dasar hukum yang kuat dan proses yang sah, akan bertentangan dengan prinsip negara hukum dan dapat berujung pada kekacauan administrasi serta potensi konflik. Oleh karena itu, bagi masyarakat dan pihak-pihak yang terlibat dalam polemik ini, penting untuk selalu merujuk pada regulasi yang sah dan menyerahkan penyelesaiannya kepada otoritas yang berwenang, demi menjaga keutuhan wilayah dan kepastian hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Penulis : Alissa Karyaningsih
(Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Tata Negara/Siyasah) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Editor : Muhiran (Ryan)/Wakil Pimpinan Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *