Bandung, (GMOCT) – centralpers – Di tengah ketidakpastian global dan dinamika ekonomi yang penuh tantangan, Menteri Keuangan sering kali tampil di depan publik dengan nada optimis, mengacungkan jempol, dan menyampaikan bahwa ekonomi Indonesia berada di jalur yang benar. Gestur ini tentu menenangkan hati sebagian masyarakat. Namun, pertanyaannya: apakah optimisme simbolik itu benar-benar bisa membantu pertumbuhan ekonomi?
Optimisme dan Sentimen Publik
Dari sudut pandang behavioral economics, optimisme pejabat publik dapat menciptakan efek psikologis yang positif. Masyarakat yang melihat pemimpinnya percaya diri cenderung memiliki kepercayaan diri yang sama terhadap masa depan ekonomi. Investor pun lebih tenang, konsumen lebih berani berbelanja, dan pelaku usaha lebih yakin untuk memperluas kegiatan bisnisnya.
Inilah yang disebut confidence effect — kepercayaan yang bisa menular dan memperkuat sentimen pasar. Dalam kondisi tertentu, optimisme bahkan bisa menjadi self-fulfilling prophecy; jika semua orang percaya ekonomi akan tumbuh, maka konsumsi dan investasi meningkat, dan pertumbuhan pun benar-benar terjadi.
Ketika Optimisme Menjadi Ilusi
Namun, optimisme tanpa data dan kebijakan yang konkret hanya melahirkan ilusi kemajuan. Pasar kini bukan lagi sekadar penonton yang mudah digiring oleh simbol. Mereka menilai dari angka-angka: defisit fiskal, inflasi, nilai tukar, investasi asing, daya beli, dan produktivitas nasional.
Apabila indikator-indikator tersebut tidak menunjukkan perbaikan nyata, maka gestur jempol tidak lagi dimaknai sebagai tanda keyakinan, tetapi justru sebagai bentuk disconnect antara narasi pemerintah dan realitas rakyat. Dalam jangka panjang, hal itu bisa menimbulkan trust deficit — krisis kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi negara.
Pertumbuhan Butuh Kebijakan, Bukan Gestur
Pertumbuhan ekonomi sejatinya tidak lahir dari retorika, melainkan dari kebijakan fiskal dan moneter yang produktif serta konsisten. Ekonomi akan tumbuh jika:
– Anggaran negara diarahkan untuk memperkuat sektor riil, bukan sekadar menjaga citra.
– Investasi didukung oleh insentif pajak, kemudahan perizinan, dan kepastian hukum.
– Daya beli rakyat dijaga melalui lapangan kerja dan stabilitas harga.
– UMKM dan sektor ekspor diperkuat agar ekonomi tidak hanya bertumpu pada konsumsi domestik.
Gestur jempol memang bisa menjadi simbol semangat, tetapi tanpa kebijakan yang nyata, simbol itu hanya berhenti di panggung komunikasi publik.
Optimisme yang Berbasis Data
Optimisme tetap penting — bahkan perlu. Namun, optimisme yang sehat adalah optimisme berbasis data, bukan sekadar keyakinan verbal. Pemerintah perlu terbuka terhadap tantangan yang ada, jujur terhadap data, dan bersungguh-sungguh memperbaiki struktur ekonomi.
Dengan demikian, setiap jempol yang diacungkan akan benar-benar bermakna: bukan sekadar simbol harapan, melainkan cerminan hasil nyata dari kerja keras bersama.
Informasi Tambahan: Artikel ini diperoleh dari Gabungan Media Online dan Cetak Ternama (GMOCT), yang mendapatkan informasi dari media online Reportasejabar yang tergabung di GMOCT.
Penulis:
Prof. Dr. Nandan Limakrisna
Guru Besar Manajemen
Universitas Winaya Mukti / Universitas Persada Indonesia Y.A.I
#noviralnojustice
#gmoct
Team/Red (Reportasejabar)
GMOCT: Gabungan Media Online dan Cetak Ternama
Editor : Chy












