DR (C) Nofal Habibi, S.H., M.H., M.P.: Penetapan Dirut PT SMU Dinilai Prematur dan Abaikan Fakta Hukum

Majalengka – centralpers – Penetapan Dede Sutisna sebagai Direktur Utama PT SMU sebagai tersangka pada 18 Oktober 2025 menuai kritik keras. Kuasa hukumnya, DR (C) Nofal Habibi, S.H., M.H., M.P., menyatakan bahwa langkah kejaksaan tidak sejalan dengan asas profesionalitas dan kehati-hatian yang menjadi roh KUHAP. Ia menegaskan, potensi kerugian negara justru berawal dari tindakan sejumlah pejabat internal perusahaan, yakni Direktur Umum Dewi Maharani, Direktur Operasional Aep Saepulloh, Kepala Divisi Agribisnis Redi Sugara, serta beberapa koordinator petani. Keterangan mereka telah disampaikan kepada Inspektorat selaku APIP, dan secara hukum seharusnya menjadi landasan awal analisis penyidik.

Alih-alih memperhatikan hasil audit APIP, penyidik justru menetapkan direktur utama yang tidak terlibat langsung dalam proses yang diduga menimbulkan kerugian negara. Menurut kuasa hukum, tindakan tersebut menunjukkan pengabaian terhadap asas due care dan kewajiban pembuktian awal. Jabatan direktur utama memang melekat dengan tanggung jawab struktural, tetapi asas fiksi hukum (recht fiksi) tidak dapat digunakan sebagai dasar penetapan tersangka tanpa bukti konkret. Dalam prinsip hukum pidana “actus reus non facit reum nisi mens sit rea”, seseorang tidak dapat dibebani kesalahan tanpa niat jahat yang nyata.

Kuasa hukum menilai tidak ditemukan unsur mens rea maupun actus reus pada diri Dede Sutisna. Ia hanya menjalankan mandat struktural berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang mengharuskan direksi bertindak dengan itikad baik dan kehati-hatian. Tanpa adanya perbuatan melawan hukum yang dapat diuji secara sah, penetapan tersangka dinilai tidak berdasar dan berpotensi melanggar prinsip due process of law serta asas legalitas dalam hukum pidana.

Dalam konteks kerja sama sewa lahan dengan pemerintah daerah, regulasi telah mengatur mekanisme secara jelas dan berlapis. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 27 Tahun 2014 jo. PP Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, serta Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 menjadi fondasi hukum dalam pemanfaatan aset daerah. Setiap proses sewa atau pemanfaatan aset wajib melalui penilaian, persetujuan kepala daerah, dan pengawasan APIP. Jika terdapat penyimpangan administratif, penyelesaiannya harus didahulukan melalui mekanisme pengawasan internal, bukan kriminalisasi instan.

DR (C) Nofal Habibi menegaskan bahwa penegakan hukum pidana, khususnya terkait dugaan korupsi, wajib menjunjung asas profesional, proporsional, dan transparan. Penyidik tidak boleh mengabaikan fakta-fakta lapangan, hasil audit resmi, dan standar pembuktian yang termuat dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP. Dalam perkara ini, direktur utama lebih tepat diposisikan sebagai saksi yang mengetahui kebijakan korporasi, bukan sebagai pihak utama yang dikriminalisasi secara terburu-buru.

Ia juga mengingatkan bahwa tanpa dua alat bukti yang sah sebagaimana dipersyaratkan Pasal 184 KUHAP, penetapan tersangka dapat dinyatakan cacat formil maupun materiil. Jika cara seperti ini dibiarkan, bukan hanya merusak asas praduga tak bersalah, tetapi juga menciptakan preseden buruk dalam penegakan hukum korporasi dan tata kelola aset daerah. Kepastian hukum harus dijaga sebagai pilar utama, bukan dikorbankan atas dasar asumsi dan tekanan penindakan semata.

Sumber  :  AgungSBI

Editor     :  Chy

Exit mobile version