Tantangan Transparansi dan Etika, Menakar Hubungan Pers dan Pemerintah Desa di Kabupaten Cilacap

Cilacap – centralpers – Di era transparansi dan akuntabilitas, peran pers sebagai pilar keempat demokrasi tidak terbantahkan. Pers memiliki mandat untuk mengawasi jalannya pemerintahan, termasuk ditingkat desa. Namun, di balik idealisme tersebut, muncul fenomena yang patut menjadi perhatian di kabupaten Cilacap. Tidak sedikit hubungan antara pers dan pemerintah desa diduga mengalami hambatan yang berpotensi menghambat proses pengawasan eksternal dan akuntabilitas publik.

Salah satu persoalan mendasar yang disinyalir menjadi akar permasalahan adalah kesenjangan pemahaman. Sebagian besar pemerintah desa, mulai dari kepala desa hingga perangkatnya masih cenderung menganggap pengawasan internal sudah cukup. Mereka merasa bahwa mekanisme pengawasan dari BPD (Badan Permusyawaratan Desa), Inspektorat Daerah atau pengawasan internal dari kecamatan sudah memadai. Pandangan ini dapat menimbulkan mis konsepsi bahwa pers sebagai pengawas eksternal yang independen, tidak lagi dibutuhkan.

Padahal, pengawasan eksternal oleh pers memiliki nilai vital. Pers yang berkompeten bertindak sebagai mata dan telinga masyarakat. Kehadirannya tidak hanya membantu mengidentifikasi potensi penyelewengan, tetapi juga memastikan kebijakan dan program desa berjalan sesuai koridor hukum dan kebutuhan warga. Keterbatasan sumber daya dan fokus pengawasan internal seringkali tidak mampu menjangkau seluruh aspek pembangunan desa. Di sinilah pers memainkan peran krusial, membuka celah informasi yang mungkin luput dari pengawas internal dan mendorong partisipasi aktif masyarakat.

Kompleksitas hubungan ini semakin diperparah dengan kebingungan dalam membedakan antara jurnalis yang berkompeten dengan oknum yang mengaku wartawan. Fenomena ini bukan hanya terjadi dikalangan masyarakat, tetapi juga diantara pejabat, ASN dan perangkat desa. Masih banyak yang belum memahami bahwa seorang jurnalis berkompeten memiliki standar etika dan patuh pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Sebaliknya, oknum wartawan seringkali hanya berbekal KTA dan surat tugas untuk tujuan diluar kaidah jurnalistik, seperti melakukan pemerasan dan penipuan untuk mencari keuntungan pribadi menggunakan ancaman (intimidasi) pemberitaan.

Ketidakmampuan membedakan ini berujung pada perlakuan yang sama terhadap semua pihak yang mengaku wartawan. Ketika oknum memanfaatkan profesi untuk kepentingan terlarang, seluruh profesi tersebut seolah-olah dicap buruk. Akibatnya, kritikan yang membangun dari jurnalis berkompeten seringkali dianggap sebagai ancaman atau upaya pemerasan. Situasi ini menciptakan tembok tebal yang menghambat komunikasi dan menindaklanjuti masukan positif.

Artikel terkait, klik tautan :
Ketika Akses Informasi Terhambat, Problematika Hubungan Antara Pers dan Pejabat Publik di Kabupaten Cilacap https://centralpers.press/ketika-akses-informasi-terhambat-problematika-hubungan-antara-pers-dan-pejabat-publik-di-kabupaten-cilacap/

Selain itu, masih banyak pihak yang belum bisa membedakan antara media online dengan media sosial. Pemberitaan di media massa yang telah melalui proses verifikasi dan kaidah jurnalistik seringkali disamakan dengan unggahan pribadi di media sosial. Padahal, keduanya memiliki standar, aturan dan tanggung jawab yang sangat berbeda.

Dugaan arogansi dan sikap merendahkan dari sebagian pejabat, ASN hingga perangkat desa terhadap awak media berkompeten juga menjadi isu serius. Tidak sedikit informasi yang menyebutkan adanya sikap tidak profesional, seperti memblokir kontak WhatsApp jurnalis, menghina secara verbal, melakukan intimidasi bahkan mempertanyakan independensi awak media secara langsung.

Sikap-sikap ini mencerminkan mentalitas feodal yang menganggap pers berada pada “derajat lebih rendah”. Padahal, pers dan pemerintah memiliki peran yang sama pentingnya dalam membangun bangsa. Pers berperan sebagai mitra kritis yang membantu pemerintah menjalankan tugasnya dengan lebih baik. Ketika kritik dianggap sebagai serangan pribadi, ruang dialog yang sehat dan konstruktif akan mati.

Ironisnya, sikap ini justru membuka celah bagi para oknum wartawan. Mereka yang tidak memiliki kompetensi seringkali memanfaatkan ketakutan dan kebencian pejabat, ASN, aparatur Pemerintah desa dan masyarakat terhadap media yang berkompeten untuk melancarkan aksinya. Sebaliknya, jurnalis berkompeten yang bekerja sesuai Kode Etik Jurnalistik justru seringkali mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan.

Artikel terkait, klik tautan :
Pilar Demokrasi di Ujung Tanduk, Contact Jurnalis Kritis Diblokir Banyak Pejabat di Kabupaten Cilacap https://centralpers.press/pilar-demokrasi-di-ujung-tanduk-contact-jurnalis-kritis-diblokir-banyak-pejabat-di-kabupaten-cilacap/

Tidak dapat dipungkiri, fenomena oknum wartawan memang menjadi masalah serius di kabupaten Cilacap. Mereka adalah “penghancur marwah pers yang sebenarnya”. Mereka seringkali tidak memiliki kompetensi dalam membuat karya jurnalistik, tidak memahami kaidah penulisan dan tidak mengedepankan etika profesi. Tujuan mereka seringkali hanya sebatas mencari keuntungan pribadi, menjadikan profesi wartawan sebagai alat pemerasan, penipuan dan intimidasi.

Kehadiran oknum-oknum ini merusak kepercayaan publik terhadap media massa. Masyarakat yang tidak memiliki pemahaman cukup seringkali menyamaratakan oknum ini dengan jurnalis yang berkompeten. Akibatnya, ketika seorang jurnalis berkompeten datang untuk meliput atau meminta konfirmasi, mereka sudah diliputi rasa curiga dan ketakutan. Hal ini merupakan tugas berat Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) kabupaten Cilacap untuk segera mencari solusi, bekerjasama dan menindaklanjuti kerjasama dengan media selama ini.

Karena untuk mengatasi persoalan ini, dibutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak. Kominfo kabupaten Cilacap wajib berperan lebih aktif dalam menjembatani komunikasi antara pemerintah desa dan media. Sosialisasi tentang pentingnya pengawasan eksternal, edukasi mengenai UU Pers dan pentingnya kerja sama dengan media massa yang memiliki jurnalis berkompeten menjadi langkah awal yang krusial. Selain itu, para pejabat, ASN dan perangkat desa harus meningkatkan literasi mereka dalam kemediaan. Mereka harus bisa membedakan antara jurnalis berkompeten dan oknum, hal tersebut merupakan langkah untuk membangun hubungan yang sehat. Ketika menerima masukan atau kritik, hendaknya ditindaklanjuti secara profesional, bukan dengan cara-cara yang merendahkan.

Sementara itu, organisasi pers dan jurnalis yang berkompeten perlu gencar melakukan edukasi kepada publik tentang pentingnya profesi jurnalis dan beretika. Organisasi dan perusahaan pers juga harus menindak tegas terhadap anggotanya yang terbukti melanggar kode etik dan menyalahgunakan profesi.

Hubungan yang harmonis antara pers dan pemerintah desa adalah kunci untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel dan berpihak pada rakyat. Tantangan yang ada di Cilacap bukanlah hal yang mustahil untuk diatasi, asalkan ada kemauan serta komitmen kuat dari semua pihak untuk saling menghargai dan bekerja sama demi kemajuan bersama.

Artikel terkait, klik tautan :
Proyek Desa Ciklapa, Dibalik Prasasti yang Dicopot dan Polemik Anggaran serta Sikap Kades https://centralpers.press/proyek-desa-ciklapa-dibalik-prasasti-yang-dicopot-dan-polemik-anggaran-serta-sikap-kades/

Penulis  :  Muhiran (Wakil Pimpinan Redaksi Central Pers)
Editor    :  Chy

Exit mobile version