Mengurai Benang Kusut Tata Kelola Desa : Perbedaan Aset Desa, BUMDes dan Koperasi Desa Sesuai Mandat Regulasi

Cilacap – centralpers – Tata kelola ekonomi dan aset ditingkat desa terus menjadi sorotan dalam agenda pembangunan nasional. Program dana desa dan inisiatif penguatan ekonomi kerakyatan telah melahirkan berbagai entitas keuangan di desa, namun kerap terjadi kerancuan substansial ditingkat implementasi dalam membedakan antara Aset Pemerintah Desa, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) serta Koperasi Desa.

Kekeliruan dalam memahami batasan hukum dan peran ketiga entitas ini bukan hanya berpotensi menimbulkan masalah akuntabilitas dan penyalahgunaan wewenang, tetapi juga menghambat optimalisasi potensi ekonomi desa. Untuk menjawab kebutuhan publik akan kejelasan regulasi, berikut ini merupakan analisis mengenai landasan hukum, tujuan serta mekanisme pengelolaan ketiga pilar ekonomi desa tersebut yang menegaskan pentingnya profesionalisme dalam tata kelola desa.

– Aset Pemerintah Desa : Kekayaan yang Tidak Boleh Diperjualbelikan

Aset Pemerintah Desa adalah pondasi material bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di desa. Keberadaannya diatur secara ketat, mengingat sifatnya sebagai kekayaan kolektif milik masyarakat desa. Aset Desa diatur jelas dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan rincian pengelolaannya diperkuat oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa. Pada Pasal 108 UU Desa menyebutkan bahwa Aset Desa berasal dari berbagai sumber, termasuk tanah kas desa, kekayaan yang dibeli atau diperoleh atas beban APBDes dan hibah.

Berdasarkan Permendagri tersebut, Aset Desa diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, meliputi aset lancar yang terbagi menjadi Kas desa, piutang dan persediaan. Aset Tetap yang terbagi atas tanah, peralatan/mesin, gedung/bangunan, jalan, irigasi, jaringan serta aset tetap lainnya. Ada juga aset lain termasuk kekayaan desa yang dipisahkan untuk mendirikan atau penyertaan modal di BUMDes.

Pengelolaan Aset Desa harus berpegang pada enam prinsip kunci yakni fungsional, kepastian hukum, transparansi, efisiensi, akuntabilitas serta kepastian nilai. Prinsip yang paling fundamental adalah terkait larangan pengalihan hak milik yang terdapat pada Pasal 112 UU Desa. Dalam Pasal tersebut secara tegas melarang penjualan atau pelepasan hak atas Aset Desa, kecuali untuk kepentingan umum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota dan berdasarkan musyawarah desa.

Aset seperti tanah kas desa tidak boleh menjadi objek bisnis spekulatif. Aset ini harus diadministrasikan dan diinventarisasi secara ketat oleh pemerintah desa serta digunakan semata-mata untuk mendukung fungsi pemerintahan dan kesejahteraan umum. Setiap penyalahgunaan atau alih fungsi tanpa prosedur yang benar adalah pelanggaran hukum.

– Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) : Kekayaan Desa yang Dipisahkan

BUMDes adalah instrumen utama Pemerintah Desa untuk menjalankan fungsi ekonomi yang berorientasi laba (surplus) dan pelayanan publik terbatas. Sejak disahkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa, status dan peran BUMDes mengalami perubahan yang cukup signifikan.

Dengan adanya regulasi tersebut, BUMDes secara eksplisit menjadi badan hukum yang didirikan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa setelah didaftarkan dan mendapat pengesahan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Dengan memiliki status badan hukum memberikan BUMDes diberikan kewenangan penuh untuk melakukan perikatan bisnis, memiliki aset atas namanya sendiri dan memiliki pertanggungjawaban terpisah dari pemerintah desa.

Modal BUMDes berasal dari penyertaan modal desa yang merupakan kekayaan desa yang dipisahkan. Pemisahan kekayaan berarti begitu dana atau aset desa ditetapkan sebagai penyertaan modal (melalui APBDes), aset tersebut menjadi milik BUMDes dan tidak lagi dikelola oleh mekanisme APBDes. Hal ini penting untuk membedakan pertanggungjawaban operasional dan keuangan.

Sumber modal BUMDes meliputi penyertaan modal desa (berasal dari APBDes), penyertaan modal masyarakat desa dan penyertaan modal pihak lain (misalnya, pemerintah daerah, badan usaha swasta ataupun perorangan). Hal tersebut sesuai dengan tujuan utama BUMDes yaitu meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes), menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan umum serta bisnis yang akan mendapatkan keuntungan untuk dialokasikan kembali dalam pembangunan desa, seperti PADesa, dana sosial juga penambahan modal BUMDes.

– Koperasi Desa : Ekonomi Berbasis Keanggotaan

Koperasi, termasuk Koperasi Desa Merah Putih atau nama spesifik lainnya adalah entitas ekonomi yang memiliki karakter paling berbeda dibandingkan Aset Desa dan BUMDes. Koperasi desa beroperasi berdasarkan semangat gotong royong dan kekeluargaan dengan fokus utama pada peningkatan kesejahteraan anggota. Koperasi diatur secara tegas oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Berbeda dengan BUMDes yang dimotori oleh pemerintah desa, Koperasi didirikan oleh orang-orang atau badan hukum koperasi.

Dalam Koperasi desa, pemerintah desa tidak memiliki hak kepemilikan atau hak kontrol struktural, sebab modal Koperasi mutlak dimiliki oleh anggota, bukan hanya dari pemerintah desa. Modal Koperasi berasal dari anggota berupa simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela. Selain itu, ada juga modal dari dana cadangan, hibah maupun pinjaman. Hal tersebut sesuai dengan prinsip Koperasi yang meliputi keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, pengelolaan dilakukan secara demokratis, pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dilakukan secara adil serta prinsip kemandirian.

Terkait Koperasi, pemerintah desa hanya dapat memberikan dukungan non-struktural kepada Koperasi, misalnya kemudahan akses lokasi atau rekomendasi. Pemerintah desa tidak bisa serta-merta menguasai aset Koperasi atau mengatur operasional Koperasi karena Koperasi harus tunduk pada Rapat Anggota Tahunan (RAT) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sebab, Koperasi Desa didirikan untuk memberikan nilai tambah ekonomi langsung kepada anggota, misalnya melalui penyediaan kebutuhan, pemasaran hasil produksi atau pemberian pinjaman mikro.

Perlu diketahui oleh masyarakat bahwa terdapat beberapa isu utama yang sering menyebabkan tumpang tindih dan konflik di desa. Konflik kepemilikan aset (tanah) menjadi isu utama di kalangan masyarakat. Seringkali, aset seperti pasar desa atau bangunan yang dibangun dengan APBDes (Aset Desa) diserahkan pengelolaannya kepada BUMDes atau Koperasi. Seharusnya, Aset (tanah dan bangunan) tetap dicatat sebagai Aset Pemerintah Desa. BUMDes atau Koperasi hanya diberikan hak untuk mengelola (sewa atau pinjam pakai) dengan perjanjian yang jelas dan dikenakan biaya retribusi/sewa yang menjadi Pendapatan Asli Desa, hal tersebut untuk mencegah aset publik menjadi aset privat.

Isu selanjutnya adalah status keuangan yang jelas. Penyertaan modal dari desa ke BUMDes harus dicatat secara transparan sebagai transfer investasi dalam APBDes, tidak ada dana BUMDes yang boleh dicampur dengan kas umum pemerintah desa. Seharusnya, Uang BUMDes merupakan uang perusahaan yang diatur oleh UU PT (secara subsider) dan PP BUMDes, sedangkan uang kas desa adalah uang publik yang tunduk pada Permendagri No. 20 tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

Sementara itu, isu terakhir adalah peran Koperasi dan BUMDes. BUMDes dan Koperasi sering dianggap bersaing, seharusnya keduanya harus bersinergi. BUMDes dapat fokus pada usaha sektor publik (misalnya pengelolaan air bersih atau listrik) atau usaha yang belum disentuh oleh Koperasi. Sementara Koperasi dapat fokus pada layanan berbasis anggota (simpan pinjam atau pemasaran produk anggota). BUMDes dapat menjadi off-taker (pembeli hasil) dari produk yang diorganisir oleh Koperasi, sehingga tercipta rantai nilai ekonomi yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Kejelasan dan penegasan status hukum antara Aset Pemerintah Desa, BUMDes dan Koperasi Desa adalah prasyarat mutlak untuk mencapai tata kelola desa yang profesional, akuntabel serta transparan. Pemerintah Desa sebagai pemegang amanat publik, harus memastikan bahwa aset desa dilindungi, diinventarisasi dan digunakan murni untuk pelayanan publik. Sementara itu, BUMDes dikelola layaknya perusahaan profesional, dengan tata kelola yang baik (Good Corporate Governance) agar menghasilkan keuntungan maksimal bagi desa. Selain itu, Koperasi desa dihormati independensinya, difasilitasi dan didorong untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya tanpa intervensi struktural dari pemerintah desa.

Dengan pemahaman yang benar atas kerangka regulasi ini, seluruh pemangku kepentingan desa, mulai dari Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pengelola BUMDes, hingga pengurus Koperasi dapat bekerja secara harmonis sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing, sehingga cita-cita kemandirian ekonomi desa dapat terwujud secara berkelanjutan.

Penulis  :  Muhiran
Editor    :  Chy

Exit mobile version