Ketika Akses Informasi Terhambat, Problematika Hubungan Antara Pers dan Pejabat Publik di Kabupaten Cilacap

Cilacap – centralpers – Belakangan ini, dunia jurnalisme di kabupaten Cilacap dikejutkan oleh sebuah isu yang cukup mengganggu yakni dugaan pemblokiran kontak WhatsApp awak media oleh Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Cilacap. Kejadian tersebut mencuat setelah jurnalis yang bersangkutan merasa kesulitan untuk menjalin komunikasi, baik untuk keperluan profesional maupun untuk mengajukan proposal kerja sama publikasi yang tak kunjung mendapat tanggapan.

Dugaan ini bukanlah sekadar isu tanpa dasar. Salah satu jurnalis berkompeten yang enggan disebutkan namanya untuk menjaga independensi dan profesionalisme mengungkapkan bahwa, komunikasi dirinya dengan Kepala Diskominfo terputus. Pesan WhatsApp yang ia kirim hanya centang satu, pertanda bahwa nomornya telah diblokir. Tidak hanya itu, upaya untuk bertemu langsung di kantor dinas juga sering kali sulit. Selalu ada alasan, entah sedang rapat, dinas luar atau alasan lain yang membuat pertemuan menjadi mustahil.

Ada dua dugaan utama yang melatarbelakangi aksi pemblokiran ini. Pertama, dugaan ini muncul setelah awak media tersebut mencoba mengajukan proposal kerja sama publikasi dengan Diskominfo. Proposal tersebut bertujuan untuk menjalin kerjasama antara pemerintah dan media dalam menyebarkan informasi dan edukasi untuk membangun, namun tak pernah mendapat tanggapan hingga sekarang. Ditambah dengan kesulitan komunikasi, memunculkan spekulasi bahwa pemblokiran ini adalah cara halus untuk menolak kerja sama.

Kedua, dugaan pemblokiran juga dikaitkan dengan kebiasaan jurnalis tersebut yang sering membagikan tautan berita hasil karya tulisnya kepada Kepala Diskominfo. Dalam dunia jurnalistik, hal ini merupakan praktik umum. Jurnalis berkompeten seringkali mengirimkan hasil liputan dan karya tulisnya kepada narasumber atau pihak terkait sebagai bentuk konfirmasi serta transparansi, juga sebagai informasi bahwa berita tersebut telah ditayangkan. Namun, dalam kasus ini, frekuensi pengiriman tautan tersebut diduga menjadi pemicu ketidaknyamanan yang berujung pada pemblokiran.

Sebagai Kepala Dinas Kominfo, pejabat tersebut memiliki peran strategis dan vital sebagai jembatan informasi antara pemerintah dan masyarakat. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, Diskominfo bertanggung jawab dalam mengelola, menyelenggarakan dan memfasilitasi komunikasi publik pemerintah. Ini mencakup penyebaran informasi pembangunan, kebijakan pemerintah serta memastikan keterbukaan informasi publik.

Artikel terkait, klik tautan :
Membendung Akses Informasi, Tantangan Awak Media di Kabupaten Cilacap https://centralpers.press/membendung-akses-informasi-tantangan-awak-media-di-kabupaten-cilacap/

Salah satu mitra kerja utama Diskominfo dalam menjalankan tugasnya adalah pers atau media massa. Media memiliki peran sentral dalam menyalurkan informasi dari pemerintah kepada masyarakat serta sebaliknya, menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Hubungan yang harmonis dan terbuka antara Diskominfo dan media merupakan kunci keberhasilan komunikasi publik.

Praktik pemblokiran contact jurnalis tersebut, jika benar terjadi, bertolak belakang dengan semangat keterbukaan informasi. Tindakan ini tidak hanya menghambat kerja jurnalis berkompeten, tetapi juga berpotensi merusak citra pemerintah daerah dimata publik. Ketika komunikasi terhambat, publik akan kehilangan sumber informasi yang kredibel, yang pada gilirannya dapat memicu munculnya rumor dan mis informasi.

Hubungan antara pers dan pejabat publik tidak diatur secara sepihak, melainkan dilindungi oleh sejumlah undang-undang dan peraturan yang berlaku. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) secara tegas menjamin kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Pada Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”. Sementara pada ayat (2) pasal yang sama menegaskan bahwa, “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.”

Praktik pemblokiran contact jurnalis berkompeten, meskipun tidak secara langsung merupakan pembredelan, dapat diartikan sebagai bentuk hambatan terhadap kerja jurnalistik. Dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers juga mengancam setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pada Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Artikel terkait, klik tautan :
Paradoks Kondusivitas : Refleksi Kritis atas Stabilitas Tanpa Keadilan https://centralpers.press/paradoks-kondusivitas-refleksi-kritis-atas-stabilitas-tanpa-keadilan/

Selain itu, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) menegaskan bahwa informasi publik adalah hak setiap warga negara. Badan publik, termasuk Diskominfo, wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan. Hambatan komunikasi dengan media yang notabene adalah corong informasi publik dapat dianggap bertentangan dengan semangat UU KIP. Pejabat publik, terutama yang bertanggung jawab dalam komunikasi seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan akses informasi, bukan sebaliknya. Pejabat publik memiliki kewajiban untuk melayani pertanyaan dan kebutuhan informasi dari pers.

Kasus ini menjadi momentum penting bagi Pemerintah Kabupaten Cilacap untuk mengevaluasi kembali mekanisme komunikasi publiknya. Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan tersebut, persepsi negatif telah muncul dan itu harus segera ditangani. Beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk memperbaiki situasi tersebut diantaranya adalah pernyataan resmi. Kepala Diskominfo perlu memberikan klarifikasi resmi terkait dugaan pemblokiran ini. Transparansi dan pengakuan akan masalah adalah langkah awal yang krusial untuk membangun kembali kepercayaan.

Selanjutnya adalah membangun kanal komunikasi yang terbuka. Diskominfo harus membuka kanal komunikasi yang jelas dan mudah diakses oleh awak media. Baik itu melalui media sosial, grup WhatsApp resmi yang dikelola dengan profesional atau dengan mengadakan konferensi pers secara rutin. Terkait proposal kerja sama, perlu ada mekanisme yang transparan dan profesional. Jika proposal tidak dapat diterima, harus ada penjelasan yang logis dan alasan yang jelas, bukan dengan cara membisu atau menghindari komunikasi.

Diperlukan edukasi atau pelatihan bagi pejabat publik dan staf Diskominfo kabupaten Cilacap tentang pentingnya menjalin hubungan baik dengan media yang memiliki jurnalis berkompeten, memahami peran strategis pers serta memahami aturan hukum yang mengatur keterbukaan informasi.

Perlu diketahui bersama bahwa hubungan yang baik antara pemerintah dan pers adalah pilar penting dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Pers berkompeten bukanlah musuh, melainkan mitra yang kritis dan konstruktif. Kasus di kabupaten Cilacap ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, bahwa komunikasi yang terhambat hanya akan melahirkan ketidakpercayaan, sementara komunikasi yang terbuka akan memperkuat demokrasi.

Liputan : Muhiran
Editor : Chy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *