Gema Filosofi Wahyu Cakraningrat di Malam Puncak HUT RI Ke-80 Desa Kunc

Cilacap – centralpers – Masyarakat tumpah ruah di lapangan desa Kunci untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit semalam suntuk bersama Ki Dalang Eko Suwaryo dengan lakon Wahyu Cakraningrat. Pertunjukan tersebut merupakan puncak peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-80. Kegiatan dilaksanakan di lapangan desa Kunci kecamatan Sidareja kabupaten Cilacap Jawa Tengah pada Sabtu, (13/09/2025).

Hadir dalam kegiatan tersebut diantaranya adalah Anggota DPRD kabupaten Cilacap dari Fraksi PKS Rusmanto, Camat Sidareja Nugroho Slamet B Santosa, S.STP., M.Si yang diwakili oleh Kasi Pelayanan Suradi, SIP bersama Forkopimcam, Kades Kunci Satrio Sakti Wibowo bersama Sekdes Syamsul Sani, SE dan seluruh perangkat desa, Kades Gunungreja Lasiman, Kades Tegalsari Samirin, Kades Margasari Samingun, Kades Karanggedang Saryo, Kades Tinggarjaya Hj. Suwarni, Kades Sudagaran Supriyadi, Kades Rungkang Susanto, Kades Wringinharjo Hasanan, BPD Kunci bersama lembaga desa, RT serta RW, Tokoh masyarakat, Tokoh Agama dan masyarakat.

Dalam sambutannya, Kades Kunci menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh masyarakat atas partisipasi dan kehadirannya dalam rangkaian kegiatan untuk memeriahkan HUT RI ke-80. Pagelaran wayang kulit ini tidak akan terlaksana tanpa adanya partisipasi masyarakat, ungkapnya.

Lebih lanjut, Bowo (sapaan akrabnya-red) berharap dengan pagelaran wayang kulit lakon Wahyu Cakraningrat, kita bisa belajar dari pesan-pesan dan filosofi agar menjadi seorang pemimpin yang jujur, adil serta bisa membawa daerahnya menjadi lebih baik kedepan, harapnya.

Sementara itu, Kasi Pelayanan kecamatan Sidareja dalam sambutannya menyampaikan permohonan maaf karena Camat Sidareja tidak bisa hadir dalam puncak perayaan HUT RI ke-80 di desa Kunci dikarenakan ada acara yang tidak bisa ditinggalkan di kabupaten, tegasnya.

Suradi juga berharap dengan adanya pagelaran wayang kulit dapat memupuk semangat kebersamaan terhadap budaya, berbangsa semakin kuat dan berkarya membangun serta menjaga persatuan, ujarnya.

Perlu diketahui oleh masyarakat bahwa, lakon wayang kulit Wahyu Cakraningrat yang dimainkan oleh Ki Dalang Eko Suwaryo sangat tepat karena banyak pesan, pelajaran serta filosofi yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal memilih seorang pemimpin. Wahyu Cakraningrat merupakan pedoman filosofis tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin dibentuk. Ia harus melalui proses internal yang berat untuk memurnikan jiwa dan karakternya, sehingga ia layak menerima amanah untuk memimpin rakyat menuju kehidupan yang lebih baik.

Cerita ini berpusat pada sebuah “wahyu” atau anugerah ilahi yang bernama Cakraningrat. Wahyu ini diyakini akan turun dari kahyangan ke dunia dan akan merasuki jiwa ksatria yang paling pantas. Siapa pun yang berhasil mendapatkan wahyu ini akan menjadi penerus takhta yang sah, membawa kerajaannya menuju kemakmuran, keadilan dan kedamaian.

Dalam kisah ini terdapat dua kubu yang bersaing untuk mendapatkan wahyu yaitu Pandawa dan Kurawa. Dari kubu Pandawa, mereka mengajukan Abimanyu (atau Angkawijaya) putra Arjuna sebagai calon penerima wahyu. Abimanyu dikenal sebagai ksatria yang rendah hati, berbudi luhur, sabar serta memiliki kemurnian hati. Sementara dari kubu Kurawa, mereka mencalonkan Lesmana Mandrakumara, putra mahkota Hastinapura yang merupakan anak dari Prabu Duryudana. Lesmana adalah antitesis dari Abimanyu. Ia diketahui manja, sombong, tidak sabar, dan hanya mengandalkan kekuasaan ayahnya.

Untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat, para ksatria ini harus melakukan laku prihatin (tirakat atau olah batin) di sebuah tempat keramat seperti hutan atau gunung. Disanalah mereka harus bersemedi, menahan hawa nafsu dan menghadapi berbagai macam godaan, mulai dari godaan harta, wanita (dalam wujud bidadari) hingga serangan raksasa penjaga.

Abimanyu dengan bimbingan para punakawan (terutama Semar) menjalani semua ujian dengan sabar dan tulus. Sementara itu, Lesmana dan para Kurawa mencoba menggunakan jalan pintas serta kekerasan untuk merebut wahyu tersebut. Pada akhirnya, karena kemurnian hati, ketabahan dan kesabarannya, Wahyu Cakraningrat turun dan menyatu ke dalam diri Abimanyu. Ia pun diakui sebagai calon pemimpin besar yang akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa.

Kisah ini bukan sekadar cerita perebutan kekuasaan, melainkan sebuah pelajaran mendalam tentang kepemimpinan sejati. Terdapat beberapa filosofi dalam cerita tersebut, diantaranya adalah kepemimpinan bukan diwariskan, tapi diperjuangkan secara batiniah. Filosofi utama Wahyu Cakraningrat adalah bahwa takhta dan kekuasaan sejati bukanlah sesuatu yang bisa direbut dengan paksa atau diwariskan begitu saja karena garis keturunan. Kepemimpinan adalah hasil dari kualitas pribadi yang unggul. Lesmana, meskipun seorang putra mahkota dianggap tidak pantas karena karakternya yang buruk. Sebaliknya, Abimanyu yang layak karena ia telah “selesai dengan dirinya sendiri” melalui laku prihatin.

Filosofi berikutnya adalah pentingnya “laku prihatin” yaitu proses mengalahkan diri sendiri. Syarat untuk mendapatkan wahyu adalah tirakat yang merupakan simbol dari proses pengendalian diri. Seorang calon pemimpin harus mampu mengalahkan musuh terbesarnya yaitu hawa nafsunya sendiri (keserakahan, amarah dan kesombongan). Ujian serta godaan yang dihadapi Abimanyu adalah metafora dari tantangan yang akan dihadapi seorang pemimpin dalam pemerintahannya.

Selanjutnya adalah kualitas ideal seorang pemimpin. Wahyu Cakraningrat hanya akan turun kepada ksatria yang memiliki sifat-sifat luhur, antara lain adalah sabar dan tahan uji (tidak mudah menyerah saat menghadapi kesulitan), rendah hati (tidak sombong dan merasa berhak atas segalanya), murni hatinya (memiliki niat yang tulus untuk mengabdi dan menyejahterakan rakyat bukan untuk kepentingan pribadi) serta adil dan bijaksana (mampu menempatkan kepentingan umum diatas segalanya).

Selain itu, pemimpin sejati adalah pilihan Tuhan (Legitimasi Spiritual). Kisah ini menegaskan konsep Jawa kuno bahwa seorang raja atau pemimpin yang agung adalah pilihan dewata. “Wahyu” adalah simbol dari restu ilahi. Tanpa legitimasi spiritual ini, seorang penguasa hanyalah seorang tiran yang memerintah dengan kekerasan, bukan dengan kewibawaan dan cinta dari rakyatnya.

Filosofi terakhir adalah peran pembimbing atau penasihat (Pamong). Dalam perjalanannya, Abimanyu selalu dibimbing oleh Semar dan para punakawan. Ini adalah simbol bahwa seorang pemimpin besar sekalipun tetap membutuhkan nasihat bijak. Semar yang merupakan jelmaan dewa juga representasi dari suara rakyat jelata. Artinya, pemimpin yang baik harus mau mendengar suara dan kearifan dari bawah.

Liputan  :  Muhiran
Editor     :  Chy

Exit mobile version