Jakarta Utara – centralpers – Sebuah surat pernyataan permohonan maaf muncul setelah seorang pemilik warung grosir sembako berinisial D diduga melakukan tindakan yang merugikan salah satu pelanggannya, Ibu Ningsih. Kejadian ini bermula ketika D membuat story WhatsApp yang memposting foto Ibu Ningsih bersama cucunya tanpa izin, disertai caption yang dianggap sangat merugikan korban dan keluarganya. Hal ini dipicu oleh keterlambatan pembayaran sisa belanja sebesar Rp 500.000. surat tersebut dibuat tanggal 5 Agustus 2025 di warung milik D dan T.
Anak Ibu Ningsih, Erna, mengungkapkan bahwa saat dihubungi, D sudah di luar batas kewajaran dengan kalimat-kalimat yang tidak nyaman dan kurang etis. Asep NS, anak Ibu Ningsih lainnya, mencoba menghubungi D, namun yang menjawab adalah T, suami D. Akhirnya, T sepakat untuk membuat surat tertulis permohonan maaf dan mengundang Ibu Ningsih beserta Asep NS dan dua anak lainnya ke warung milik D di daerah Pademangan, Jakarta Utara.
Surat permohonan maaf tersebut sudah dipersiapkan sebelumnya dan tidak ditulis di depan semua pihak. Asep NS menyampaikan kepada T agar mereka berdua menjadi saksi dalam surat tersebut sebagai bukti awal pengakuan.
Permasalahan yang akan menjadi dasar bagi keluarga Ibu Ningsih untuk melaporkan ke pihak berwajib adalah tidak disebutkannya siapa orang Ancol yang memberikan informasi kepada D bahwa “Keluarga Ibu Ningsih itu banyak utang”. Bahkan, setelah penyerahan surat permohonan maaf, D menghubungi Santi (anak Ibu Ningsih) dan mengatakan bahwa ia tidak bisa menyebutkan siapa orang Ancol tersebut karena khawatir masalah akan melebar.
Santi menjawab bahwa jika demikian, masalahnya justru akan semakin melebar dan jika tidak disebutkan siapa orang Ancol tersebut, maka itu adalah fitnah yang dilontarkan oleh D sendiri.
Nanang, anak Ibu Ningsih yang juga ayah dari cucu yang fotonya di viral kan, menyatakan tidak terima foto anak dan ibunya di viral kan oleh D. Ia juga menganggap voice note D yang menyebutkan “Keluarga Ibu Ningsih menurut orang Ancol, banyak utangnya” sebagai fitnah yang keji.
Selain itu, D juga pernah melakukan tindakan kontroversi terhadap Eko, anak angkat Ibu Ningsih yang juga pelanggan warungnya. Eko menuturkan bahwa saat ia masih memiliki tunggakan sebesar Rp 4.000.000, D menyuruh tiga orang yang menggunakan baju dinas PM (Polisi Militer) yang belum diketahui dari kesatuan mana, untuk menagih hutang kepadanya.
Eko juga mengaku bahwa ia mentransfer uang dengan cara dicicil melalui nomor rekening sang PM tersebut. Saat tim liputan menghubungi nomor kontak PM tersebut yang tersimpan atas nama Achmadi, sang PM tidak menjawab pertanyaan dan diduga langsung memblokir nomor kontak tim liputan. Tim liputan akan mencoba mengkroscek ke beberapa kesatuan terkait dengan tiga orang oknum PM tersebut.
Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah oknum PM sudah beralih tugas dan fungsi menjadi penagih hutang? Bukankah masyarakat membayar pajak untuk menggaji para pejabat dari berbagai instansi atau institusi untuk melayani dan mengayomi, bukan malah menjadi orang suruhan dan menagih hutang?
Team liputan
Editor : Chy